Berkuasa 32 Tahun, Soeharto Kecil Ternyata Sering Dibully

Berkuasa 32 Tahun, Soeharto Kecil Ternyata Sering Dibully
Foto: infografis/ Infografis : Mengenal Bukit Soeharto / Aristya Rahadian Krisabella

JAKARTA - Sebelum berkuasa selama 32 tahun di Indonesia, masa kecil Soeharto jauh dari kata enak. Masa mudanya diselimuti kemiskinan dan tumbuh besar jauh dari kasih sayang orangtua. Tak cuma itu, dia juga sering mendapat perundungan dari teman-temannya.

Nasib kurang beruntung Soeharto bermula tak lama setelah dia dilahirkan pada 8 Juni 1921. Di kala masih bayi dan butuh perlindungan orangtua, Soeharto harus menelan pil pahit: orang tuanya, Kertosudiro dan Sukirah, memutuskan untuk bercerai. 

Keduanya pun tak lama kemudian menikah kembali dengan pasangan baru. Soeharto kelak mempunyai bapak-ibu-adik tiri. Beruntung, setelah perceraian itu, Soeharto mendapat asuhan dari pamannya, Prawirowihardjo.

Dalam otobiografi berjudul Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya (1989), Soeharto mengaku dia mendapat asuhan baik. Sang paman menganggapnya sebagai anak sendiri. Namun, tetap saja hidupnya tak begitu mulus dan terjerat kemiskinan.

Dia beberapa kali berpergian menggunakan baju lusuh. Soal baju, dia juga pernah kena prank saudaranya sendiri. Cerita ini bermula saat buyutnya menjahit baju.

Soeharto yang masih kecil dan polos langsung memakai baju itu dengan penuh kegembiraan. Padahal, tak ada ucapan kalau baju baru itu diberi ke Soeharto. Benar saja, ketika sudah memakai baju, si buyut meminta Soeharto melepaskan baju tersebut untuk diberikan kepada cucunya yang lain. 

"Saya merasa hina. Saya nelangsa, sedih sekali," kata Soeharto mengenang kejadian itu.

Perlakuan lain yang membuat hidup masa kecilnya semakin berat saat dia sering mendapat bully dari teman-temannya. Ketika bermain, dia sering dipanggil "Den bagus tahi mabul". "Tahi mabul" maksudnya tahi kering. Sedangkan, "Den" merupakan ledekan karena buyut yang mengasuhnya punya hubungan dengan keraton.

"Saya selalu menolak untuk dipanggil begitu. Tetapi, mereka terus juga menjengkelkan saya. Bagaimana ini, apakah mengejek atau mau bergurau saja dengan memanggil-manggil "Den" kepada saya?" Ujar Soeharto.

Dalam autobiografinya, Soeharto mengaku sedih mendapat perlakuan demikian. Perundungan membuat beban hidupnya yang ketika itu melarat makin tambah berat. Barulah, ketika tumbuh dewasa penderitaan itu mulai hilang satu per satu. 

Meski hidup tanpa kasih sayang orangtua dan penuh kesulitan, Soeharto yang dikenal sebagai sosok pendiam beruntung bisa disekolahkan oleh orang tua asuhnya. Dalam catatan R. E. Elson di Soeharto: Sebuah Biografi Politik (2005), tercatat dia pernah sekolah walaupun hanya sampai Sekolah Menengah (Shackel School). 

Setelah lulus sekolah, Soeharto langsung mencari kerja di usia belasan tahun. Sayangnya ini juga tak mulus. Dia pernah bekerja di bank desa, tetapi karena bukan passion-nya dia tidak betah dan memutuskan resign.

Setelahnya, dia jadi pengangguran dan hidup luntang lantung. Di masa-masa ini, dia pernah menjadi pengurus masjid. Barulah, hidupnya mulai benar-benar enak ketika menjadi tentara KNIL atau Tentara Kerajaan Hindia Belanda. 

Menjadi tentara membuat hidup Soeharto seketika berubah. Setiap bulannya dia mendapat gaji 60 gulden. Dengan uang segitu, dia bisa membeli baju baru dan menghidupi diri sendiri serta keluarga. Singkatnya, dia bisa bangkit dari kemiskinan. 

Kelak, berprofesi sebagai tentara juga menjadi pintu masuk bagi dirinya untuk meniti jalan kesuksesan. Soeharto, yang pernah hidup susah, kemudian dikenal sebagai Presiden ke-2 Indonesia  seperti dilansir dari CNBC Indonesia. ( ktc )

Berita Lainnya

Index