Orang Terkaya Palestina Turun Gunung Ikut Perang Lawan Israel

Orang Terkaya Palestina Turun Gunung Ikut Perang Lawan Israel
Foto: Munib al-Masri (Reuters/File)

JAKARTA - Hubungan Israel-Palestina kembali memanas. Kelompok Hamas yang berjuang atas kemerdekaan Palestina melancarkan serangan bersenjata terbesar ke Israel dalam beberapa tahun terakhir Sabtu.

Militer Israel pun membalas serangan tersebut dalam skala besar dan mendeklarasikan perang terhadap kelompok Hamas. Pertempuran pun tak terelakkan yang membuat korban jiwa di kedua pihak saling berjatuhan. 

Aksi ini lantas menambah panjang catatan konflik berdarah di kawasan tersebut yang sudah terjadi sejak 70 tahun silam. Sekaligus menggagalkan upaya perdamaian yang beberapa kali diutarakan, termasuk yang dilakukan oleh salah satu tokoh bernama Munib al Masri, pengusaha dan orang terkaya di Palestina. 

Terusir dari Tanah Air

Munib al Masri lahir di Nablus, Palestina tahun 1934 dari keluarga berada. Bapaknya, yang meninggal saat Munib berusia 1,5 tahun, adalah seorang pedagang emas yang banyak bermitra dengan pedagang lain di luar negeri. 

Dia kemudian tumbuh besar bersama ibunya dan hidup di Palestina sampai usia 18 tahun. Sepanjang hidup di sana, dia sempat menjadi saksi mata saat David Ben-Gurion memproklamasikan negara Israel pada 14 Mei 1948.

Bukan cuma itu, dia juga menjadi saksi sekaligus korban atas pertempuran pasca-proklamasi. Di usia 14 tahun, dia menyaksikan bagaimana Nablus yang sebelumnya damai dan tenang berubah menjadi arena pertempuran.

Dia bersaksi sering menyaksikan pilot pesawat tempur Israel menjatuhkan bom di kawasan tempat dia tinggal. Rumah-rumah menjadi hancur. Korban jiwa juga terus berjatuhan. Atas peristiwa ini, bibit balas dendam dari dalam dirinya mulai muncul. 

"Sambil berdiri di tempat penampungan, saya memutuskan untuk menjadi pilot pesawat tempur di Angkatan Udara Palestina agar saya bisa melawan Israel," kata Munib kepada Wharton School of University of Pennsylvania.

Hingga akhirnya, situasi yang makin tidak kondusif membuat Munib terpaksa angkat kaki dari tanah kelahirannya. Bermodalkan uang saku US$ 400, tepat di tahun 1952 dia pergi ke Beirut, Lebanon, untuk melakukan perjalanan panjang via kapal laut menuju New York, Amerika Serikat (AS). 

Di Paman Sam, Munib perlahan mulai menata kehidupan baru. Dia tercatat berkuliah jurusan perminyakan di University of Texas pada 1955. 

Lalu setahun kemudian melanjutkan studi geologi di Sul Ross University.  Setelah banyak belajar di AS, Munib kembali ke Timur Tengah untuk mendirikan perusahaan pengeboran mineral dan air, bernama Engineering & Development Group (Edgo) yang berbasis di Amman, Yordania.

Belakangan, perusahaan itu sukses membuat nama Munib naik daun. Dia dikenal sebagai ahli yang mampu menemukan sumber air di wilayah Timur Tengah yang kering kerontang.

Dari sini, dia mulai kaya raya. Meski begitu, kekayaan tak membuatnya terlena dan melupakan tanah kelahiran Palestina. 

Dia masih teringat soal cita-citanya menjadi pilot pesawat tempur buat membalas kebengisan Israel. Namun, akibat takdir membawanya menjalani profesi pengusaha, dia memilih berjuang lewat cara lain. 

Berjuang 'Hajar' Israel Meski Tak Mudah

Setelah sukses berkarier dan malang melintang di sektor industri Timur Tengah, dia memutuskan kembali ke Palestina. Pada 1993, dia bersama ekspatriat Palestina lain mendirikan Palestine Development and Investment (PADICO).

Dalam situs resminya, PADICO berupaya membangun dan menghadirkan investasi di Palestina yang bertujuan membangkitkan perekonomian nasional di Tepi Barat dan Jalur Gaza. Kelak, perusahaan itu adalah otak di balik kehadiran Bursa Efek Palestina dan juga hadirnya investasi asing dalam pembangunan fasilitas dan infrastruktur.

Bagi Munib, pendirian PADICO adalah perjuangan nasional untuk meningkatkan kesejahteraan sosial, pendidikan dan pembangunan bangsa. Jika itu tercapai, maka masyarakat Palestina bisa menemui kemerdekaannya.

"Jika Tuhan memberi saya kekuatan, saya akan bekerja untuk mengembangkan perekonomian Palestina guna menemukan solusi terhadap masalah pengangguran yang meluas. [...] Setiap kali saya berhasil mendapatkan pekerjaan untuk warga Palestina, saya dipenuhi dengan kepuasan dan kebahagiaan," kata Munib kepada Ynetnews.

Sayang, upaya itu tak mudah. Kemerdekaan Palestina sebagai isu sensitif membuat otoritas Israel bereaksi keras. Tak jarang jalur perdagangan dan distribusi PADICO ditutup otoritas. Atas dasar inilah, kepercayaan terhadap investor menurun dan tak mudah mengajak lagi mereka. 

Dan ini memang terbukti ketika upaya PADICO mulai terlihat. Mengutip Arabian Business, lini bisnis PADICO kemudian banyak yang mandek. Hotel-hotel sepi. Banyak pabrik yang ditutup.

Singkatnya, semua itu tak memberi keuntungan. Meski begitu, Munib tetap menjalankan perjuangannya ini.

"Bisnis PADICO adalah patriotisme, bukan keuntungan. Oleh karena itu, kita harus memikat orang kaya Palestina untuk memperjuangkan kepentingan nasional," tutur pria yang menginvestasikan lebih dari US$ 20 juta dari uangnya sendiri buat ekonomi Palestina. 

Mulai Berbuah Manis

Perlahan, upaya PADICO dan Munib mulai membuahkan hasil. Uang pribadi yang dikeluarkan Munib sangat membantu rakyat Palestina.

Situs American University of Beirut menuliskan, Munib telah menjadi filantropis terkenal lewat Masri FoundationDia sukses membantu ribuan orang dengan menyediakan obat-obatan gratis, sekaligus membangun kembali rumah yang sudah dihancurkan Israel.

Selain itu, dia yang juga pendiri berbagai universitas di Palestina, membantu operasional rumah sakit dan memberi beasiswa sekolah ke anak-anak Palestina. Puluhan ribu juga warga sudah dipekerjakan olehnya.

Semua itu pada akhirnya membuat Palestina kembali 'hidup' meski berulangkali dihajar habis-habisan oleh zionis Israel. Sumbangan jutaan dolar dari uang pribadinya pun tak membuat Munib miskin sebab perusahaannya, EDGO, tetap menjadi mesin pendulang uang bagi dirinya. 

Meski tak diketahui berapa pasti kekayaannya, melihat sumbangsih dan kepemilikan rumah mewah membuat Munib al-Masri dinobatkan sebagai orang terkaya Palestina.

Sekarang, perusahaannya PADICO telah menjadi perusahaan investasi besar di bawah kepemimpinan keluarganya, Bashar Masri. Mengutip Forbes, Bashar Masri kini sedang mengembangkan kota terencana pertama di Palestina, Rawabi City, yang dibangun dari uang pribadinya.

Tercatat perusahaan sudah mengelola dana US$ 815 juta atau Rp 12,7 Triliun untuk pembangunan sektor finansial, energi, industri hingga properti. Semua keuntungan itu dialihkan untuk kemaslahatan rakyat Palestina. 

Meski tak berjuang menjadi pilot pesawat tempur, Munib pada akhirnya sukses berjuang lewat caranya sendiri: bisnis dan investasi. Dalam wawancara ke Ynetnews tahun 2002 silam, dia mengaku sudah puas melakukan itu semua dan hanya perlu menunggu waktu untuk melihat Palestina merdeka.

Kini, dia sudah berusia 89 tahun. Kepada media, ia terus mengaku, sedang menunggu Palestina merdeka meski harapan itu selalu tertutup awan hitam seperti dilansir dari CNBC Indonesia.( ktc )

Berita Lainnya

Index