Harga Anjlok, Ekonomi Petani Karet di Kuansing Kian Sulit

Harga Anjlok, Ekonomi Petani Karet di Kuansing Kian Sulit
fhoto riauterkini.com

ELUK KUANTAN- Anjloknya harga karet petani di Kuansing kini mulai terasa dampaknya. Kini harga karet turun hingga 40 persen atau berkisaran harga Rp6.500/perkilo, sehingga menyebabkan pendapatan petani karet menurun drastis.

Yang paling merasakan dampak dari kondisi ini adalah para buruh penyadap karet. Ribuan buruh penyadap karet kabupaten Kuansing terancam turun pendapatannya.

Anjloknya harga komoditas karet yang menjadi andalan masyarakat Kuansing akan membawa pengaruh yang besar pada sebaran kantong kemiskinan di daerah itu.

"Kantong-kantong kemiskinan di Kuansing itu terletak di kawasan sepanjang pesisir Sungai Kuantan, rata-rata mereka yang tinggal didaerah itu mengandalkan Karet sebagai mata pencaharian," kata Kepala Bappeda Kuansing, Hardi yacub kepada riauterkini.com.

Kalau semula kantong-kantong kemiskinan berada di sekitar wilayah pesisir sungai Kuantan yang didominiasi oleh warga tempatan kini meluas. Kantong-kantong kemiskinan di Kuansing akan meluas menyentuh kehidupan para buruh petani karet di seluruh pelosok eks transmigrasi.

Kondisi ini harus diwaspadai Pemkab Kuansing. Soalnya, kalau krisis ekonomi global yang menjadi penyebab anjloknya harga karet berlangsung lama jelas akan mendongkrak angka kemiskinan di Kuansing.

Sementara itu belum lama ini Bupati Kuansing, H.Sukarmis pernah menyebutkan bahwa , angka penduduk miskin di Kuantan Singingi sebesar 12,57 persen dari jumlah penduduk seluruhnya 364.206 jiwa.

Menurut pengamat ekonomi yang juga Dosen STAI Pekanbaru, Asripilyadi ketika diminta konfirmasi nya menjelaskan, sebaran kantong kemiskinan di daerah ini tidak lagi terpokus di kawasan pesisir Sungai Kuantan, tapi meluas ke daratan kawasan perkebunan.

Menurut dia, pendapatan buruh tani, karet akan berdampak pada rendahnya kemampuan untuk memenuhi kebutuan hidup. Pemkab Kuansing harus segera mencari format untuk mengantisipasi situasi ini. Kalau tidak, kondisi ini akan menjadi masalah baru bagi pembangunan di Kuansing.

Kondisi ini tidak hanya akan menambah jumlah masayarakat miskin. Kalau sekarang ini berada di titik 12 persen, tidak tertutup kemungkinan akan merambat naik mencecah 20 persen.

 “Ini akan semakin rumit dan menjadi tantangan yang harus segera dijawab oleh pemkab Kuansing dengan langkah riil. Inilah waktunya, SKPD terkait menunjukkan kemampuannya untuk menguraikan persoalan. Ini akan menjadi bukti sampai dimana kualitas dan kuantitas kinerja pemda Kuansing,’” tegas Asripilyadi.

Karaman (43) buruh penyadap karet di Koto Kombu mengaku tak lagi mampu untuk membiayai seluruh kebutuhan keluarganya. Kalau semula dari upah sebagai penyadap karet perminggu ia mampu menghasilkan Rp400 ribu semenjak harga karet anjlok hanya mendapatkan hasil Rp150.000/perminggu.

“Dengan pendapatan sebesar ini jelas tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Belum lagi untuk biaya sekolah anak, mulai dari uang jajan dan berbagai keperluan sekolah lainya. Soalnya, meskipun sekolah gratis bebas SPP, tapi untuk beli buku dan LKS tetap harus merogoh kocek pribadi” ungkap Karaman dengan nada memelas.

Karaman bukanlah satu-satunya buruh penyadap karet yang merasakan langsung dampak dari anjloknya harga karet. Musa (40) juga mengalami persoalan yang sama. Dirinya sehari-harinya menyadap karet, hanya mampu menghasilkan Rp.200.000/perminggu, padahal sebelum harga karet anjlok, mampu membawa pulang Rp.500.000-Rp.600.000/perminggu.

Sementara itu, Hervina Resi salah seorang mahasiswi asal Kuansing di Universitas Raja Haji Fisabilillah Tanjungpinang via telepon kepada riauterkini.com mengatakan jika kondisi ini berlangsung lama jelas akan bepengaruh pada penurunan pendapatan perkapita masyarakat Kuansing.

Untuk itu menurutnya, pemkab Kuansing harus cermat dan cerdas menyikapi masalah ini. Instansi terkait harus menyiasati persoalan turunnya harga karet ini. Apakah benar dampak krisis global atapun ulah para tengkulak. Bagaimanapun juga, aktifitas bisnis jual beli karet di daerah ini dikuasai tengkulak.

“Kalau system tata niaga seperti ini terus berjalan, petani kita tidak akan pernah sejahtera. Harga komoditas petani akan mudah digoyang, dan imbasnya kalau terjadi lama akan berdampak pada pendapatan petani. Kantong kemiskinan di Kuansing akan terus menyebar dan kost social yang harus ditanggung pemda akan semakin meningkat” tandas mahasiswi asal Hulu Kuantan ini membeberkan.( riauterkini.com )

Berita Lainnya

Index