PEKANBARU - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto kembali menyampaikan sikap dan keberatan Indonesia terhadap diskiriminasi komoditas Indonesia secara langsung di Belgia, Brussels.
“Kami menyampaikan concern dan ketidaksetujuan kami kepada Uni Eropa yang kembali mendiskriminasi komoditas ekspor unggulan, terutama kelapa sawit yang berdampak negatif pada industri, perdagangan dan para petani kecil kelapa sawit, melalui kebijakan EU Deforestation-Free Regulation (EUDR),” tandas Menko Airlangga.
Kebijakan EUDR ini secara langsung tidak mengakui segala upaya pemerintah Indonesia dalam upaya mitigasi perubahan iklim hingga perlindungan keanekaragaman hayati yang telah disepakati secara internasional seperti Paris Agreement dan agenda UN SDGs.
Karenanya secara khusus Menko Airlangga menekankan kepada CSO dan NGO yang hadir pada acara tersebut agar mengkomunikasikan minyak sawit secara obyektif, tidak diskriminatif, serta didukung oleh data yang akurat, terbaru dan terpercaya.
Terhadap hal tersebut, melansir CAKAPLAH.COM Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat Manurung mengapresiasi upaya-upaya yang sudah dilakukan pemerintah perihal EUDR.
Meskipun aturan ini belum operasional, tapi isu EUDR ini telah dimanfaatkan oleh pasar CPO domestik dan global untuk mengambil kesempatan menekan harga CPO dan dampaknya sudah sangat terasa berat saat ini di harga TBS (tandan buah sawit) petani sawit.
Terkhusus dalam kondisi keterpurukan kami saat ini dimana harga TBS sudah amblas di harga Rp1.450/kg, ambruk 50% dari harga normal.
“Hari ini adalah harga tender CPO di KPBN Rp9.924/kg terendah sejak larangan ekspor April tahun lalu dan harga TBS petani, terkhusus petani swadaya (harga TBS nya harian) langsung ambruk rerata Rp100-200/kg. Hal ini telah membuat 17 juta petani sawit dan pekerja sawit terkejut. Karena disaat sedang berlangsungnya diplomasi delegasi Indonesia dan Malaysia di Brussels justru harga TBS petani semakin ambruk,” urai Gulat.
“Kami sudah kesusahan, untuk modal 1 Kg TBS saja sudah Rp2.150 dan saat ini sudah mulai banyak pekerja kebun rakyat yang keluar dari kebun dan mencari pekerjaan ke perkotaan. Praktis kebun petani sudah mulai ditelantarkan atau tidak dipanen karena ongkos panen sudah tidak terbayar," kata Gulat.
Sejak April tahun lalu, petani sawit pada umumnya sudah berhenti memupuk karena keterpurukan harga TBS dan disaat bersamaan harga pupuk melonjak hampir 300%.
Yang paling menyedihkan, kata Gulat, Pabrik Kelapa Sawit semakin tidak terkendali dan tidak karuan menekan harga TBS petani jauh melebih turunnya harga CPO, karena minimnya pengawasan baik dari kementerian terkait maupun penindakan dari aparat penegak hukum (APH).
"Kedua hal ini semua bermula dari lemahnya Permentan yang mengatur tataniaga TBS petani (Permentan 01 tahun 2018),” kata Gulat.
“Jikapun harga CPO Rp9.924/kg, harusnya harga harian TBS petani sawit masih di level Rp2.250-2.400/kg, tapi TBS kami hanya dibayar PKS Rp1.450” ujar Gulat.
Saat ini harga cangkang sudah jauh di atas harga TBS, sementara petani hanya dapat Rp10-25/kg sebagai tambahan harga TBSm
Harga cangkang saat ini sudah rerata Rp1.650-1.850 per kilo gram, bahkan cangkang saat ini susah dicari karena laris manis dipasaran domestik apalagi sudah menjadi komuditi ekspor.
Harusnya cangkang ini, kata Gulat, dapat menolong harga TBS yang terpuruk. Tapi sayangnya Permentan 01 tahun 2018 sangat lemah, tidak akuntatif dan tidak transfaran, sehingga harga TBS kami petani pun dipermainkan PKS-PKS.
“PKS-PKS ini mungkin lupa bahwa kalau harga TBS kami dicurangi terus (tidak adil) maka kami akan berhenti melakukan perawatan kebun dan pada akhirnya produktivitas kebun kami akan menurun seperti saat ini rerata turun 30-40%. Jika ini terjadi terus apalagi tidak adalagi penambahan luas kebun sawit, maka PKS juga pada waktunya akan tutup karena TBS petani tidak masuk ke PKS, terkhusus PKS tanpa kebun,” ujar Gulat.
Namun yang pasti terdapat hubungan yang erat antara lemahnya Permentan 01 2018 dan EUDR, terhadap ambruknya harga CPO domestic dan hal ini berdampak langsung ke harga TBS Petani sawit, karena yang menanggung semua beban di hilir dan isu pasar adalah TBS petani.
“Pak Sekjend Dr Rino Afrino, memang sudah melaporkan dan berkordinasi langsung ke Ketua Pengarah Satgas Tata Kelola Industri Sawit dan Optimalisasi Optimalisasi Penerimaan Negara napak Luhut Binsar Panjaitan, dan saya sendiri minggu lalu sudah melapor ke Pak Moeldoko sebagai Ketua Dewan Pembina DPP Apkasindo Perihal kondisi keterpurukan petani sawit,” kata Gulat.
"Untuk itu kami mohon dengan sangat, kebijakan Bapak Luhut Binsar Panjaitan, sebagai Ketua Satgas Tata Kelola Sawit, yang juga Menko Marves untuk menolong kami petani sawit melalui memerintahkan kepada Menteri Keuangan dan Menteri Perdagangan supaya Pungutan Eksport (levy) sebesar US$95/MT CPO dinolkan sementara waktu. Sehingga harga TBS kami akan terdongkrak sebesar beban levy tersebut," cakapnya.
Karena levy (US$95) ini praktis membebani harga TBS kami sebesar Rp285/kg. “Kalau Bea Keluar (BK) yang saat ini US$74/MT CPO (atau setara dengan beban TBS Rp225/kg) kami tetap mendukung karena memang negara sangat membutuhkan pajak dari sawit untuk membangun negara ini. Hanya kami mohon direlaksasi saja, jadi kami petani sawit tetap bisa survive dalam keadaan sulit ini," harap Gulat. (***)