JAKARTA - Banyak yang percaya sejarah kopi bubuk sachet cap Kapal Api bermula di tahun 1927. Lepas dari akurat tidaknya tahun permulaan sejarah kopi kapal itu, bisa dipastikan Go Soe Loet adalah orang penting dalam sejarah kopi Kapal Api ini.
Go Soe Loet adalah perantau asal Fujian, China. Sama seperti orang China lain, dia pergi dari tanah kelahirannya karena terjadi huru-hara. Indonesia pun jadi tempat tujuannya. Pada 1920-an, dia tiba di Surabaya dan langsung memulai usaha kopi rumahan.
Dalam usaha ini, dia selektif dalam memilih biji kopi. Dia memastikan sendiri biji kopi yang bakal dipakainya adalah kualitas terbaik. Jika sudah, biji kopi itu digoreng dan ditumbuknya hingga menjadi bubuk. Setelah itu siap dijual ke pasar.
Muhammad Ma'ruf dalam 50 Great Business Ideas From Indonesia (2010:31) menyebut dia harus berjuang keras di pasaran karena kopinya punya banyak saingan di pasar Jawa Timur. Maka, sebagai pembeda, Goe Soe Loet mengemas kopinya dengan kertas berwarna coklat dan diberi merek HAP Hootjan yang berarti kapal api. Penamaan ini didasarkan oleh pengalaman membekas Goe Soe Loet yang menggunakan kapal api bertenaga uap ke Jawa.
Meski tertatih-tatih, bisnis kopinya cukup moncer. Laris dan bisa melewati berbagai ketidakstabilan ekonomi. Go Soe Loet kemudian menikah dan mempunyai anak bernama Go Tek Whie. Dia mendidik anaknya secara serius. Sejak belia anaknya sudah diikutsertakan dalam berbisnis kopi. Alhasil, di masa depan anaknya itulah yang membawa HAP Hootjan menjadi besar.
Pada 1970-an, Go Tek Whie, yang kemudian dikenal sebagai Soedomo Mergonoto, mengubah nama merek dagang HAP Hootjan menjadi Kapal Api. Selain itu dia juga sangat visioner. Pernah suatu masa bisnis kopinya menurun. Setelah diusut diketahui kalau mesin kopinya sudah jelek. Mesinnya buatan tahun 1800-an. Artinya sudah 100 tahun lebih.
Masih mengutip 50 Great Business Ideas From Indonesia (2010), pada 1978 Soedomo lantas pergi ke Jerman untuk menghadiri pameran mesin pengolah kopi. Di sana Soedomo terkejut karena harga mesin kopi sangat mahal, sekitar Rp 123 juta. Alhasil, dia hanya bisa mengamati dan membuat mesin buatan sendiri dengan budget Rp 870 ribu.
Mesin buatannya memang berhasil mengolah kopi 180 kg/jam. Sayangnya, hasil kopinya justru makin buruk. Bisnis Kapal Api menurun. Akhirnya Soedomo menyerah dan terpaksa membeli mesin Jerman seharga Rp 123 juta itu dengan meminjam ke Bank Pembangunan Indonesia.
Pada akhirnya, mesin pengolahan kopi itu sukses menaikkan kualitas Kapal Api. Konsumen senang dan naik drastis.Soedomo makin giat memasarkannya. Saat tumbuh besar inilah Soedomo mendirikan PT Santos Jaya Abadi di Siduarjo. Kelak ini jadi pusat kerajaan bisnisnya. Untuk memperluas jangkauan konsumen, Soedomo berani memasang iklan di TVRI yang dikenal sangat mahal. Kapal Api harus merogoh kocek dalam untuk hal ini.
Namun, upaya ini membuahkan hasil. Kopi Kapal Api jadi raja kopi di Indonesia. Perusahaan berhasil menjual Kapal Api ke beberapa kota di luar Jawa seperti Palembang, Makassar, Medan dan Pontianak. Bahkan, pada 1985, kopi Kapal Api diekspor ke Timur Tengah, Taiwan, Hongkong, dan Malaysia.
Setelah sukses dengan kopi bubuk hitam kapal Api, Soedomo memproduksi kopi susu bermerek kopi ABC. Kopi ini jadi alternatif masyarakat Indonesia yang ingin mencampurkan susu ke dalam larutan kopi secara instant. Dalam sekejap, laris manis.
Pada tahun 1992, Soedomo merambah ke bisnis kedai kopi di tahun 1992 bernama Excelso, segmennya untuk masyarakat menengah atas. Dua gerai pertama berada di Plaza Indonesia (Jakarta) dan Plaza Tunjungan II (Surabaya). Tak hanya itu, Kapal Api juga memproduksi Good Day, Ceremix, dan Permen Relaxa.
Keberhasilan ini membuat perusahaan untung besar. Bahkan, di industri kopi perusahaan mengklaim telah menguasai 60% pasar kopi dan untung triliunan. Tentu saja, keberhasilan ini juga terjadi Soedomo yang semakin kaya dan dijuluki crazy rich Surabaya sebagaimana dilansir dari CNBC Indonesia.( ktc )