Kampanye Penolakan Kelapa Sawit Indonesia di Swiss Resmi Dimulai

Kampanye Penolakan Kelapa Sawit Indonesia di Swiss Resmi Dimulai
Fhoto kompas.com

ZURICH - Kampanye perlawanan terhadap rencana masuknya produk kelapa sawit asal Indonesia ke Swiss resmi dimulai. Uniterre, LSM yang memelopori referendum penolakan kelapa sawit memulai kampanyenya di Bundenskanzlei, Mahkamah Konstitusi Swiss, di Bern, Senin (11/1).

Di hadapan wartawan yang ada di Gedung Parlemen Swiss, Uniterre menampilkan tujuh pembicara. Enam orang asli Swiss, dan satu orang asal Indonesia.

Dari Swiss muncul dua petani organik, Willy Cretgeny dan Jelena Filiponic, dua anggota parlemen dari Swiss Barat, Nicolas Walder dan Denis de la Reussille, serta duo anggota partai Juso (Jungsozialist), Ronja Jansen dan Julia Kueng.

Dari Indonesia, Uniterre menampilkan Budio Tjahjono. Budi adalah aktivis gereja dan pegiat HAM. Saat ini, Budi Tjahjono menetap di Jenewa, Swiss Barat.

Jika pembicara dari Swiss fokus dengan topik kelapa sawit, Budi Tjahjono justru lebih banyak bicara tentang pertambangan Freeport di Papua. Perkebunan kelapa sawit di Papua hanya disinggung singkat. Selebihnya, Budi Tjahjono yang berbicara sekitar delapan menit, lebih berkampanye tentang pertambangan dan papua.

"Saya baru tiba dari Indonesia dua hari lalu. Di sini saya tidak hanya menyinggung kelapa sawit, tapi juga pertambangan,“ katanya memulai pidatonya.

Kepada Kompas.com, Budi menampik berbicara diluar jalur. Baginya, perdagangan Swiss dan Indonesia tidak hanya kelapa sawit.

"Tapi juga emas,“ tepisnya.

Willy Cretegny, petani organik, mengaku risau dengan rencana masuknya produk kelapa sawit ke Swiss.

"Selain merusak hutan tropis dan penghuninya, juga akan mendesak produk lokal, seperti minyak canola dan bunga matahari,“ kata Willy. Ronja Jansen, Presiden Juso, segendang seirama.

Ronja juga menyoroti rusaknya lingkungan hidup, khususnya hutan hujan tropis di Indonesia.

"Petani kecil juga terusir dari kediamannya,“ katanya. Ronja juga tidak percaya ada perkebunan kelapa sawit yang ramah lingkungan.

"Tidak ada itu,“ tegasnya.

Julia Kueng, rekan Ronja di Juso, menyatakan bahwa pembakaran hutan dan tanah gambut di Indonesia merupakan cara termurah untuk membuka perkebunan kelapa sawit.

"Saatnya untuk menghentikan semua ini,“ katanya.

Jelena Pilipovic mengungkap adanya persaingan tidak sehat antara petani gurem dan konglomerasi.

"Kalau minyak sawit masuk, maka produk lokal akan tersingkir karena kalah bersaing dalam harga jual,“ katanya.

 Dia menyebut di Indonesia banyak petani yang tersingkir akibat perkebungan sawit yang besar.

"Di Swiss, petani yang sudah makin berkurang jumlahnya, akan makin banyak yang tumbang akibat perjanjian ini nantinya,“ kata Jelena.

Nicolas Walder, anggota parlemen dari Partai Hijau juga meragukan sistem pengawasan sertifikasi produk kelapa sawit yang masuk Swiss.

"Belum ada sistem pengawasan yang bisa dijamin efektif“ kata Nicolas.

Denis de la Reussille, pembicara yang lain, lebih menyoroti dampak sosial perkebunan kelapa sawit.

"Kondisi sosial tenagas kerja di perkebunan sawit memprihatinkan. Gaji rendah, cuti hamil tidak terjamin, dan pekerja anak sering terjadi, termasuk di perkebunan yang bersertifikat,“ kata Denis yang menjadi anggota DPRD Neuchatel ini.

Menanggapi situasi ini, kepada Kompas.com, Duta Besar RI, Muliaman Hadad menyatakan bahwa referendum ini proses demokrasi dan urusan internal Swiss. Namun, KBRI Bern berkoordinasi dengan sejumlah instansi terkait di Indonesia dan Swiss telah memberikan informasi kepada media lokal mengenai perbaikan kondisi dan standar produksi kelapa sawit Indonesia.

 Disampaikan bahwa Pemerintah Indonesia telah menerbitkan sejumlah kebijakan untuk meningkatkan kesejahteran para petani kecil kelapa sawit. Di antaranya tentang tidak adanya penambahan lahan baru , perlindungan satwa liar, serta perbaikan kondisi tenaga kerja serta penerapan standar produksi melalui Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). KBRI Bern juga telah meluncurkan sebuah blog khusus, yaitu www.indonesiainswiss.com untuk menangkal isu minyak sawit dan respons terhadap isu yang diangkat dalam refrendum IE CEPA yang akan diadakan di Swiss, Maret 2021.

Blog ini berbahasa Inggris dan akan ditambah dalam versi bahasa Jerman, Perancis dan Italia. Swiss dan Indonesia melakukan kerja sama dagang. Parlemen Swiss bahkan sudah menyetujui kesepakatan dagang itu.

Namun, Uniterre mengumpulkan 50 ribuan tanda tangan untuk membawanya ke referendum. Dalam kesepakatan dagang itu, Indonesia boleh mengekspor 10 ribu ton kelapa sawit ke Swiss per tahun.

Jumlah yang tidak banyak untuk Indonesia. Referendum akan dilaksanakan 7 Maret mendatang.( sumber : kompas.com)

Berita Lainnya

Index