Petani Sawit Riau Cemaskan Harga TBS tak Kunjung Membaik

Petani Sawit Riau Cemaskan Harga TBS tak Kunjung Membaik
fhoto riauterkini.com )

PEKANBARU-Belakangan ini, harga sawit maupun harga karet Riau dianjlok. Kondisi tersebut membuat pendapatan para petani, baik petani sawit maupun karet menurun. Effect dominonya adalah daya beli petani menjadi lemah.

Informasi yang dihimpun Riauterkini menyebutkan bahwa daftar harga Tandan Buah Segar (TBS) sawit periode 31 Juli hingga 13 Agustus 2013, berdasarkan data dari Dinas Perkebunan Propinsi Riau adalah sawit berumur 3 Tahun (Rp 1.055,92), 4 Tahun (Rp 1.180,22), 5 Tahun (Rp 1.263,38), 6 Tahun (Rp 1.299,56), 7 Tahun (Rp 1.349,47), 8 Tahun (Rp 1.391,45), 9 Tahun (Rp 1.435,52), 10 Ke atas (Rp 1.470,07).

Hal itu diakui oleh Sekretaris Aspekpir Riau, Karya Muslimat Senin (12/8/13). Menurutnya, sejak anjlok beberapa waktu sebelumnya, kini harga TBS sawit masih belum ideal. Kalaupun naik, tambahnya, kenaikan sangat tipis dan belum mensejahterakan petani sawit.

"Jika pendapatan petani sawit bagus dengan harga TBS sawit yang ideal, pendapatan petani sawit akan stabil. Hal itu cukup mempengaruhi daya beli petani yang juga akan stabil," terangnya.

Disinggung penyebabnya, Karya Muslimat mengatakan bahwa ia mendapatkan informasi bahwa akibat kampanye hitam yang dilakukan LSM Greenpeace di Eropa membuat pasar CPO dari Indonesia ke Eropa menjadi sepi. Padahal pasar Eropa sangat potensial untuk product CPO asal Indonesia.

Hal itu diakui oleh Ketua Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Riau, Wisnu Oriza Suharto. Menurutnya, ekspor sawit Riau dan Indonesia umumnya kini lebih banyak ke pasar Asia seperti India dan China. Namun pemerintah dan Gapki pusat tengah menjajagi pasar Afrika yang masih cukup luas bagi product CPO asal Indonesia.

"Pasar eskpor CPO kita ke Eropa sebenarnya memiliki potensi yang cukup besar. Namun saat ini kita fokus mengekspor CPO ke Asia seperti ke India dan China. Kini kita juga tengah menjajagi pasar Afrika yang masih cukup luas pangsanya," terangnya.

Hal itu juga tidak luput dari perhatian pengamat ekonomi yang juga dosen Fakultas Ekonomi Universitas Riau, Asril Yusuf. Menurutnya, CPO yang sangat berpotensi menjadi bahan baku alternative pengganti minyak bumi sebenarnya sangat berpotensi untuk pasar Eropa yang lebih menyukai bahan bakar ramah lingkungan (biofuel)dari tumbuhan dibandingkan bahan bakar fosil. Sayangnya, menurutnya, karena ada satu dan lain hal, pasar Eropa lebih sepi dibandingkan pasar Asia.

"Kondisi tersebut sedikit banyak mempengaruhi pasar ekspor CPO kita yang harus mencari pasar alternative. Dampaknya adalah terjadi penurunan ekspor yang berakibat pada harga TBS di tingkat petani yang cenderung menurun," terangnya. ( riauterkini.com )

Berita Lainnya

Index