RMOL. Realisasi program kartu 'Sakti' Jokowi mulai dipertanyakan. Bahkan, DPR dan penegak hukum diminta segera melakukan evaluasi pada program tersebut.
Koordinator Advokasi Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Ardian Sirait mengatakan, tiga kartu 'sakti' yakni; Kartu Indonesia Sehat (KIS), Kartu Indonesia Pintar (KIP), dan Kartu Keluarga Sejahtera (KKS) sampai saat ini tidak jelas keberadaannya. Padahal, anggaran negara untuk pengadaan Kartu Sakti itu sudah disetujui, tetapi realisasinya tidak terlihat dimasyarakat.
"Keberadaan Kartu Sakti Jokowi itu semakin tak jelas wujudnya. Sampai saat ini tidak tahu seperti apa realiasinya di masyarakat. Mungkin saja Kartu Sakti itu diluncurkan sebagai pengalihan isu saja tadinya," katanya.
Dia mencontohkan, di RSCM ada pasien bernama Rupiatun (60 tahun) mengalami sakit pendarahan otak, tidak boleh pulang dari rumah sakit, karena dia disuruh membayar 76 juta rupiah oleh pihak RSCM. "Padahal, Nenek itu adalah warga miskin, tidak mampu dan merupakan korban penggusuran. Lalu, dimana Kartu Saktinya Jokowi? Tidak ada," ungkapnya.
Seharusnya, lanjut Ardian, pemerintah membuktikan janjinya secara realistis dan nyata kepada masyarakat miskin, dengan memfasilitasi anak-anak yang kesulitan bersekolah agar kembali bisa mengecap pendidikan yang layak.
Untuk itulah, dia berharap DPR melakukan upaya evaluasi terhadap penggunaan anggaran Kartu Sakti yang diluncurkan oleh Jokowidodo itu. "DPR harus mengevaluasi keberadaan kartu Sakti itu" katanya.
Selain itu, Ardian juga meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Satuan Tugas Khusus (Satgasus) di Kejasaan Agung untuk melakukan evaluasi program ini. "Kita meminta kepada penegak hukum untuk sigap melakukan evaluasi program ini. Kita meminta kepada penegak hukum untuk sigap melakukan penelusuran terhadap pemakaian anggaran kartu sakti ini. Sebab dananya itu dari APBN," paparnya. ***