Mardianto Manan :

PACU JALUR BUDAYA LELUHUR

PACU JALUR BUDAYA LELUHUR
Mardianto Manan. ( ktc )

 

Setiap pertengahan tahun di Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), tepatnya sekitar bulan Agustus, setiap tahunnya kota Teluk Kuantan selalu diramaikan dengan helat akbar yang menghadirkan banyak orang berkunjung ke Tepian Narosa Batang Kuantan yang terletak di Jantung Kora Teluk Kuantan. Bahkan Orang Kuantan sering mengatakan tahun barunya rakyat Kuantan, dengan menyebutnya dengan istilah tanbaru atau tahun baru.

 

Semua Masyarakat Kuantan Singingi berpesta pora dengan meriahnya, lebih meriah lagi dari hari raya besar ummat Islam di dunia, bahkan sempat Bung Sukarmis Sang Bupati yang dekat dengan rakyat ini, mangungkapkan pada Wakil Presiden Yusuf  Kalla, pada saat satu abadnya peringatan pacu jalur, bahwa keberadaan tentang ramainya pengunjung pacu jalur ini adalah, merupakan pengunjung teramai nomor dua di dunia setelah Mekah, katanya dengan serius, alias bukan bergurau karena sang bupati satu ini memang kadangkala susah membedakan antara serius dengan bergurau (maksudnya buat saya, bukan pada stafnya) namun kalau dipikir ada juga benarnya.

 

Lantas bagaimana asal muasalnya, sehingga pacu jalur ini dapat menyedot penonton nomor dua teramai di dunia ? Mengutip dari beberapa sumber, dapat dijelaskan bahwa asal muasal dari pacu jalur adalah pada awal abad ke-17, dimana jalur merupakan alat transportasi utama warga desa di Rantau Kuantan, yakni daerah di sepanjang Batang Kuantan. terutama digunakan sebagai alat angkut hasil bumi, seperti pisang dan tebu, kerambial, serta berfungsi untuk mengangkut orang, bahkan sampai sekitar empatpuluhan orang.

 

Perkembangan selanjutnya, muncul jalur-jalur yang diberi ukiran indah (kepala ular, buaya, harimau, siposan rimbo dll) baik di bagian lambung maupun selembayungnya, ditambah lagi dengan perlengkapan payung, tali-temali, selendang, tiang tengah (gulang-gulang) serta lambai-lambai (tempat juru mudi berdiri). Perubahan tersebut sekaligus menandai perkembangan fungsi jalur menjadi tidak sekadar alat angkut, namun juga menunjukkan identitas sosial. Kenapa ? karena hanya penguasa wilayah, bangsawan, dan datuk-datuk saja yang mengendarai jalur berhias tersebut (Kompas, 2003).

Berangkat dari kemeriahan antar kampung, maka mulai diadakan lomba, untuk para juara lomba tidak ada peres yang diperebutkan, yang ada hanyalah acara makan bersama warga sekampung, dengan menu makanan tradisional setempat, seperti konji barayak, godok timbual, lopek jantan dan batino sakombuik godang, paniaram manso, lidah kambiang. Beberapa kampung ada juga yang menyediakan hadiah berupa marewa (bendera kain berwarna-warni berbentuk segi tiga dengan renda di bagian tepinya), yang diberikan untuk juara satu hingga empat, dengan perbedaan pada ukuran kainnya, biasanya lomba pacu jalur ini diadakan pada acara-acara kebesaran Islam

Belandapun mengakui kemeriahan pacu jalur ini, ketika mereka mulai memasuki kawasan Rantau Kuantan, tepatnya di kawasan yang sekarang menjadi Kota Teluk Kuantan, sekitar tahun 1905, mereka memanfaatkan acara pacu jalur itu untuk merayakan Hari Ulang Tahun (HUT) Ratu Wilhelmina yang jatuh pada setiap 31 Agustus, dan akibatnya tidak lagi dirayakan pada hari-hari raya umat Islam, namun kegiatan pacu jalurnya sendiri baru diakomodir dan mulai menyediakan hadiah bagi para pemenangnya baru pada tahun 1903, makanya seabad pacu jalur jatuh pada tahun 2003 yang lalu.

 

Budaya yang tinggi

Dalam sebuah nukilan sejarah yang lain, pembuatan jalur ini dijelaskan bahwa, pertama kali jalur diadakan di Rantau Kuantan sejak abad 20, jalur yang aslinya dulu mempunyai panjang 25-30 m dengan lebar 1,5m, dengan muatan pemacunya sebanyak 40-65 orang. Dibuat dari pohon besar yang liat tapi ringan, berserat halus tapi tak lapuk, lurus tapi tidak tirus tak berlubang tapi tak bertingkah. Dengan besaran lingkaran sepemelukan 4 orang dewasa, tumbuh di tanah yang berani, pohon yang ber-roh, bermambang akarnya, batangnya dan bermambang pula pada pucuk daunnya.

 

Pertanyaannya pada saat ini, dimana posisi kita rang toluak kuantan, jakalau orang luar saja, demikian takjubnya dengan budaya jalur ini, bagaimana pula dengan kita ? Maka dari itu pelaksanaan pacu jalur ini dari tahun ketahun, harus kita lestarikan, hendaknya jangan dimodernkan, misalnya dalam bentuk hadiah yang terlalu mewah (honda, tv, mobil) cukuplah hadiah berupa produk buatan seberakun atau dari pakuciang misalnya  kabau atau jawi, kalau perlu tampilkan lagi peres berupa bendera-bendera kebesaran hadiah yang agung seperti jaman dahulu kala, mariam mansiu tetap digunakan sebagai pertanda pacu dimulai, jangan pula diganti dengan bodial balando.

 

Standarisasi jalur harus mengikuti speknya, misalnya model kayu sabatang, tidak boleh disambung dengan papan  lembai-lembainya, semua ornamen harus dipenuhi, tukang onjai, timbo ruang, tukang kabiar, tukang tari, karena semua itu ada maknanya, untuk mengantisipasi kayu yang sudah punah ranah, ini juga perlu kita pikirkan bersama, amat penting bagaimana mempertahankan budaya ini agar tetap alami dan tradisonal. Mendesak saat ini adalah rimbo larangan untuk bahan baku jalur perlu kita pertahankan, kalau perlu suruh para perusahaan yang sudah membabat hutan belantara kuansing, mengadakan pembibitan kayu-kayu jalur ini, agar jalur yang ada saat ini jangan menjadi dongeng sebelum tidur bagi anak cucu kita nanti.

Demikian pula disarankan agar Pemkab Kuantan Singingi, membuat museum jalur secepatnya, agar kenangan masa dituu tidak hilang begitu saja, kumpulkan semua pernak pernik jalur yang pernah ada (unik) tetapi bukan pakai “s” karena kalau pakai “s” maka itu adalah kampus kebanggaan kami rakyat Kuantan Singingi yang tiada duanya. Lantas buat daftar panjang para pemenang sedari dulu sampai pada yang ke seratus enam tahun ini, untuk mengisi diaroma musium yang kita buat.

 

Sehingga kenangan masa lalu kita terhadap kampuang halaman tetap utuh, karena kalaulah kenangan lama tersebut tidak kita pulihkan, takutnya kita lupa dengan masalalu, seperti kasus hancurnya SPG dibuldoser menjadi pasar rakyat pada masa era bupati masa lalu sebelum periode Bung Sukarmis, maka hilanglah memori para guru-guru mantan siswa SPG tersebut, termasuk memori kita sebagai pemilik kota tua ini, saya waktu kecil menunggu oto pulang menonton pacu jalur selalu bertengger dibibir bukit, disamping pagar SPG tersebut, namun sekarang sudah hilang dari album kenangan yang mengharu biru. Kalaulah memori kita sudah hilang, tentulah kita bakal jadi orang pikun, kalaulah pikun tontu la gilooo kitoo goo…hem …

 

Sekarang kita boleh berbangga bahwa sang bupati sudah sangat memanjakan keberadaan pacu jalur ini, bahkan bupati sukarmis merawat dan menjaga sepanjang mata rantai pembuatan pacu jalur ini, mulai dari maelo, melayur bahkan turun mandi (pacu pertama) selalu di elu elukan sang bupati ini dengan cara membantu dan meramaikan dengan ikut menonton semua kegiatan tersebut.

 

Apalagi pacu jalur tahun kemarin, bung sukarmis sempat menghadirkan gubernur riau Anas Makmum untuk yang pertama dan terakhirnya sebagai gubernur riau, dikala itu sang gubernur tersentak betapa meriahnya pacu jalur ini, sehingga berhamburanlah bantuan keuangan yang diberikan, mulai dari yang mendapat juara satu sampai sepuluh, bahkan juga untuk semua jalur yang ikut sebanyak 2 juta per jalur.

Nah jika sekarang akan dilombakan secara nasional bahkan regional ataupun semi internasional hendaknya tetaplah merawat dan menjaga wibawa pacu jalur ini dengan bernuansakan budaya kuantan sejati yang sebenarnya, selamat berpacu dan selamat bertanding dan tentu selamat juga buat bupati sukarmis yang terakhir kalinya menaja acara pacu jalur ini dalam posisinya sebagai bupati kenangan masyarakat kuantan singingi, selamat dan terima kasih bung sukarmis, kan iko.

Mardianto Manan, Warga Kenagorian Pangean Kuantan Singingi Riau

Berita Lainnya

Index