Wajah Damai Orang Hui, Suku Muslim Asli China

Wajah Damai Orang Hui, Suku Muslim Asli China
Seluruh penduduk desa menyambung setiap turis yang datang (Putri/detikTravel)

WUZHONG - Mungkin tak banyak turis yang tahu tentang Suku Hui di China. Inilah salah satu suku asli di China yang beragama Islam. Berjumpa dengan mereka, akan menyelipkan rasa tenang dan damai lewat senyuman yang tak henti mereka tebar.

Rasa penasaran dan semangat tak henti menghinggapi diri saya begitu tahu akan mengunjungi salah satu perkampungan Muslim di Wuzhong, China. Dari beberapa informasi yang saya baca, perkampungan ini dihuni oleh ratusan penduduk Suku Hui.

Awalnya saya tidak tahu siapakah Suku Hui? Apa istimewanya di antara suku lain yang ada di China. Ternyata mereka adalah salah satu suku asli China yang memeluk agama Islam.

Suku Hui tersebar di beberapa wilayah di China. Salah satu tempat mereka adalah Provinsi Ningxia, daerah yang saya kunjungi bersama rekan-rekan dari ASITA Jakarta.

Setelah menempuh perjalanan sekitar 35 menit dari Chinese Yellow River Altar, akhirnya saya dan rombongan bisa tiba di perkampungan Muslim China. "Inilah New Muslim Village," tutur Nadya, pemandu wisata saya.

Rupanya, pemerintah China membenah desa suku ini menjadi sebuah tempat yang baru. Bangunan baru pun mengisi perkampungan ini. Semua tampak rapi bersih dan tertata baik.

"Suku Hui tinggal di sini," lanjut Nadya.

Tak sabar ingin berjumpa dengan suku Hui, saya langsung keluar dari bus dan melempar pandangan ke sekitar. Tujuannya tentu untuk melihat keberadaan suku Hui.

Menurut informasi yang saya dapat, kebanyakan wanita suku Hui mengenakan penutup kepala atau jilbab. Sedangkan pria mengenakan topi haji dengan pakaian gamis.

Aha! Itu dia! Mata saya menangkap sosok penduduk muslim dengan pakaian yang saya bayangkan.

Yang pria mengenakan baju gamis dan topi haji, sedangkan yang perempuan mengenakan pakaian muslim dengan jilbab. Dengan ramah mereka menebar senyum ke setiap wisatawan yang datang.

Dengan langkah tergesa-gesa saya menghampiri mereka. "Assalamualaikum," sapa salah seorang penduduk desa.

Dengan wajah sumringah, saya pun menjawab salam dan mencoba membuka pembicaraan. Namun sayang, tak satu pun dari mereka yang mengerti bahasa Inggris.

Akhirnya percapakan kami hanya terbatas salam, bahasa universal yang pasti dimengerti seluruh umat Muslim seluruh dunia. Meski tak ada kata lain yang terucap, kami saling menatap hangat dan tersenyum, bagai saudara yang lama tak berjumpah.

Bagai bertemu saudara yang lama tak berjumpa, salah seorang ibu langsung memeluk tubuh kurus saya. Tanpa ragu ia menepuk punggung sambil berbicara bahasa China.

Walau tak mengerti apa yang dibicarakan, saya merasakan kehangatan sang ibu. Kehangatan atas dasar persaudaraan.

Tak apalah pikir saya saat itu. Bisa bertegur salam dan saling berpelukan saja sudah menenangkan hati. Terlebih, seluruh penduduk juga memberi sambutan yang sangat hangat.

Hampir seluruh orang keluar rumah menyambut seluruh turis yang datang. Tak peduli warna kulit, asal negara, maupun agama, orang Hui melambaikan tangan sambil memberikan senyum terbaik. Bahkan tak sedikit yang ikut mengajak anak balita mereka untuk berkenalan dengan tamu yang datang.

Semakin jauh kaki melangkah mengitari desa, semakin sering bertegur sapa dengan penduduk desa, rasa rindu akan rumah semakin kuat. Ya, berada di desa ini seperti berada di rumah sendiri. Entahlah magnet apa yang dimiliki perkampungan ini. Yang jelas, rasa nyaman damai dan tenteram begitu jelas memasuki relung hati.

Sayang waktu di desa ini tidak terlalu banyak. Saya dan rombongan harus segera beranjak dan pindah ke tempat lain.

Selamat tinggal Suku Hui. Meski hanya sebentar, perjumpaan ini tak akan pernah saya lupakan.( sumber : detik.com )

Berita Lainnya

Index