Setiap Tahun Konflik Warga vs Perusahaan di Riau Meningkat

Setiap Tahun Konflik Warga vs Perusahaan di Riau Meningkat
Salah satu konflik lahan di Riau yang berujung pembakaran alat berat. ( fhoto : riaupos.co )

PEKANBARU-Konflik antara warga tempatan dengan perusahaan di Provinsi Riau setiap tahunnya menunjukkan angka peningkatan. Sayangnya, konflik itu tak pernah selesai, karena pihak perusahaan cenderung melakukan pendekatan kepada tokoh yang tidak representatif bagi seluruh masyarakat, termasuk hanya kepala desa saja, perangkat desa lainnya, tokoh dan preman.

Demikian diungkapkan Sekretaris Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMR) Isnadi SH kepada wartawan di salah satu kafe di Pekanbaru, Selasa (1/10 ). Dikatakannya, JMGR mencatat tahun 2011, terdapat 62 desa di Riau yang berkonflik dengan perusahaan.

Data ini berdasarkan pengaduan yang masuk yang kita rangkum dalam catatan akhir tahun JMGR 2011. Konflik umumnya adalah perampasan lahan, akses masyarakat ke dalam hutan yang biasa mereka manfaatkan untuk kehidupan mereka, dan soal tapal batas.

"Pemetaan kita, ada 22 titik di wilayah gambut yang konflik di 62 desa itu yang mencakup luas lahannya 272.063 hektare," ucapnya.

Isnadi menambahkan, penyebab terjadinya konflik tersebut banyak. Ada karena tumpang tindih hak-hak penguasaan sumberdaya lahan, tidak adanya sosialisasi tentang rencana perusahaan atau dikenal dengan prinsip persetujuan tanpa paksaan atas dasar informasi awal (Free Prior Informed Consent - FPIC).

Selain itu, imbuhnya, juga karena pengabaian hak-hak masyarakat dalam pengelolaan sumberdaya alam, perebutan lahan antar masyarakat, hilangnya mata pencaharian ekonomi dan ganti-rugi lahan yang tidak sesuai dengan harapan, termasuk kesepakatan yang tidak direalisasikan perusahaan.

"Konflik ini dari tahun ke tahun meningkat. Kita memang belum ada data konflik yang rapi untuk tahun 2012 hingga 2013 ini. Tapi kita yakini dari pelaporan, konflik ini bertambah. Kenapa? Karena konflik yang lama tidak selesai, konflik yang baru justru muncul di wilayah lain," ucapnya.

Tingginya konflik ini juga karena gaya perusahaan saat meminta persetujuan masyarakat. Mereka menjanjikan ganti rugi. Ganti rugi ini sebenarnya menimbulkan konflik di internal masyarakat, karena itu mendorong lahirnya mafia-mafia tanah. Mereka membuat kelompok-kelompok tani, namun fiktif, lalu memblok-blok lahan dan menjualnya ke perusahaan.

"Perusahaan melakukan pendekatan kepada tokoh yang tidak representatif bagi seluruh masyarakat, termasuk hanya kepala desa saja, perangkat desa lainnya, tokoh dan preman," tuturnya seraya menambahkan seharusnya perusahaan melakukan sosialisasi kepada seluruh masyarakat.( sumber : riauterkini.com )

Berita Lainnya

Index