Pengamat: Jokowi Simbol Kematian Elite Politik

Pengamat: Jokowi Simbol Kematian Elite Politik
Joko Widodo/Jokowi. ANTARA FOTO/Muhammad Iqbal

JAKARTA - Pengamat politik dari Universitas Indonesia Boni Hargens menyatakan, Gubernur DKI Jakarta, Joko Widodo alias Jokowi merupakan simbol kematian bagi elite politik. Jokowi dinilai mematahkan tradisi pemimpin negara yang selama ini selalu berasal dari pucuk pimpinan partai. Jokowi disebut-sebut bakal maju sebagai calon presiden dari PDI Perjuangan.

"Jokowi itu wajah rakyat, calon yang lain terlalu elitis dan kurang merakyat. Ini yang menyebabkan Jokowi lebih populer, rakyat udah bosan dengan elite-elite itu," kata Boni dalam diskusi di Cikini, Sabtu, 14 September 2013.

Boni menyatakan, dengan modal ini Jokowi akan menyingkirkan semua calon presiden yang saat ini telah mendeklarasikan diri. Bahkan, Jokowi dinilai lebih konsisten dibandingkan mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD yang mulai ditinggal masyarakat. Mahfud mulai kekurangan daya tarik setelah terlalu banyak bicara dan genit secara politik.

Jokowi juga dinilai lebih unggul dari calon lain seperti Menteri Badan Usaha Milik Negara Dahlan Ishkan dan Menteri Perdagangan Gita Wirjawan. Keduanya dinilai hebat dan dikenal oleh kalangan menengah ke atas. "Di tingkat rakyat kelas bawah, nggak ada yang kenal Gita dan Dahlan," kata Boni.

Dibandingkan dengan beberapa calon resmi lain, Jokowi juga masih unggul. Boni menyatakan, calon presiden Partai Gerindra Prabowo Subianto memang tokoh yang tegas dengan ideologi dan konsepnya sebagai presiden para petani. Meski elektabilitasnya tinggi, Prabowo punya satu kelemahan yaitu datang sebagai calon pemimpin dari elite lama. "Masyarakat sudah kecewa dan bosan pada kelompok tersebut," kata dia.

Partai Golkar dinilai setali tiga uang. Boni menganggap pencalonan Aburizal Bakrie justru membebani partai. Menurutnya, Golkar berpotensi menang jika menggelar konvensi dan mengusung tokoh lain. Salah satu faktor kegagalan Ical adalah ketidakjelasan ideologi dan dosa masa lalu yaitu lumpur Sidoarjo.

Kelemahan calon presiden dari Partai Hanura, yaitu Wiranto sudah kalah dalam dua kali periode pemilu.  Meski tegas dan memiliki ideologi kemajemukan, Wiranto dinilai gagal dalam komunikasi publik. Sehingga masyarakat kurang mengenal dan merasa dekat. "Mungkin bisa tertolong sokongan iklan dari Harry Tanoe," kata Boni.

Hal yang sama juga terdapat pada elite politik Partai Amanat Nasional, Hatta Rajasa. Boni menilai PAN tidak akan total dan sukses karena partai tersebut telah tersandera oleh sosok Hatta. Dalam pemilu, PAN dan Hatta akan tergusur dengan nilai perolehan di bawah 5 persen.
"Pemilu tanpa Jokowi tak akan ada warna," kata Boni.

Analisa Boni ditanggapi Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Edhy Prabowo bahwa partainya telah menetapkan harga mati untuk mengusung Prabowo sebagai calon presiden. Senada dengan Edhy, Wakil Sekretaris Jenderal PAN Teguh Juwarno menyatakan Hatta Rajasa tetap sebagai calon presiden. "Masih ada delapan bulan, apakah Jokowi tetap populer?," tanya Teguh.

Wakil Bendahara Partai Golkar, Bambang Soesatyo, juga menyatakan tak gentar dengan fenomena Jokowi. Menurut dia, Golkar secara bulat dan menetapkan harga mati pencalonan Aburizal. "Kalau Jokowi tidak diusung PDIP, Golkar akan gandeng Jokowi jadi wakil presiden," kata Bambang.

Sekretaris Jenderal Badan Pemenangan Pemilu Partai Hanura, Ahmad Rofiq, menganggap hasil survei yang menempatkan Jokowi di posisi puncak bukan ramalan untuk masa depan. Masih ada waktu untuk terjadi perubahan, termasuk popularitas dan elektabilitas Wiranto dan Harry Tanoe.
"PDIP juga belum tentu mau mengusung capres di luar trah Soekarno," kata Rofiq.( sumber : tempo.co )

Berita Lainnya

Index