Wapres Boediono : Ekonomi Indonesia Lampu Kuning

Wapres Boediono : Ekonomi Indonesia Lampu Kuning
Wapres Boediono (kanan) dan Menteri Keuangan Chatib Basri (kiri). ANTARA/Prasetyo Utomo

YOGYAKARTA - Wakil Presiden Boediono menyebut melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia berimbas bagi ekonomi Indonesia. “Situasi perekonomian gawat dan tidak pasti. Indonesia berada pada lampu kuning,” kata dia saat membuka rapat kerja evaluasi realisasi belanja pemerintah pusat dan daerah di Gedung Agung atau Istana Kepresidenan Yogyakarta, Senin pagi, 26 Agustus 2013.

Menurut Boediono melambatnya pertumbuhan ekonomi menjadi topik utama di seluruh dunia. Kondisi ekonomi menunjukkan tanda-tanda yang kurang baik. Dampak langsung bagi Indonesia adalah harga komoditas ekspor yang anjlok sehingga penerimaan ekspor turun. “Defisit membengkak. Indonesia tekor,” katanya.

Selain menurunnya ekspor, perubahan kebijakan moneter di negara adikuasa, misalnya Amerika Serikat juga mempengaruhi kondisi ekonomi Indonesia. Amerika Serikat memperketat pembiayaan atau likuiditas global. Dahulu, dolar gampang masuk ke Indonesia melalui sejumlah proyek. Kini nilai tukar dolar terhadap rupiah semakin menguat hampir di seluruh dunia. “Sekarang dolar kembali ke kandang masing-masing karena ekonomi negara adikuasa mulai bergerak,” katanya.
Menurut dia tidak hanya Indonesia yang mengalami nilai tukar rupiah yang anjlok, melainkan juga Jepang dan Malaysia.

Boediono menyebut kegawatan ekonomi saat ini belum bisa dikatakan sebagai krisis. Hanya saja, ia mengimbau pemerintah pusat dan daerah untuk waspada terhadap situasi ini. Ia meminta pemerintah pusat dan daerah meningkatkan pendapatan dari sektor pajak, investasi, dan melakukan pengurangan impor misalnya dengan mengganti solar dengan bio diesel. “Jangan santai-santai. Bisa saja pertumbuhan ekonomi kita anjlok hingga dua persen,” katanya.

Boediono juga meminta pejabat pemerintah selalu efektif dan efisien menggunakan anggaran. Kepala daerah, kata Budiono, hendaknya meningkatkan kualitas penyerapan anggaran. Salah satunya adalah mempermudah kalangan usaha untuk berinvestasi. Ia meminta kepala daerah menerapkan aturan usaha yang sederhana. Dia juga meminta pencabutan aturan yang menghambat kemudahan investasi.

Selama ini, pengusaha kerap mengeluhkan persyaratan yang terlalu rumit. Dampaknya pengusaha dari luar negeri dan Indonesia banyak yang pindah untuk berinvestasi ke negara lain. Misalnya pindah ke Vietnam dan Bangladesh karena persyaratan usaha lebih mudah. “Pemodal dalam negeri kalau diberi karpet merah di luar negeri ya ke sana. Jangan mengandalkan nasionalisme kalau menyangkut uang,” katanya.

Ketua Tim Evaluasi Pengawasan dan Penyerapan Anggaran atau TEPPA, Kuntoro Mangkusubroto mengatakan penyerapan anggaran pada Semester Pertama Tahun 2013. Rata-rata penyerapan atau realisasi belanja kementerian, lembaga (non kementerian), lembaga negara pada Semester pertama ini mencapai 26, 81 persen. Jumlah ini lebih rendah dibandingkan dengan Semester pertama tahun lalu yang mencapai 31,52 persen. Angka penyerapan juga tidak mencapai target, yaitu sebesar 34,93 persen.

Kuntoro mengatakan penyerapan anggaran berpotensi tidak selesai hingga akhir tahun. Beberapa lembaga negara dan pemerintah provinsi lamban melakukan proses lelang. Misalnya Badan Narkotika Nasional dan Provinsi Kalimantan Barat.

Di daerah, penyerapan anggaran, kata Kuntoro juga tidak mencapai target, yaitu hanya 30,47 persen. Padahal, targetnya sebesar 37,88 persen. Ia mencontohkan penyerapan anggaran infrastruktur yang bersumber dari APBN. Penyerapan tidak optimal karena proyek pembangunan infrastruktur tidak diselesaikan tepat waktu. Misalnya pembangunan jalan tol di Jawa Tengah. “Sebaiknya tidak ada usulan pembangunan proyek infrastruktur pada pertengahan tahun,” kata dia.

Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo mengatakan pembangunan jalan tol di Jawa Tengah terhambat karena lemahnya sosialisasi kepada masyarakat. Dampaknya beberapa kelompok masyarakat menolak pembangunan proyek itu.( sumber : tempo.co )

Berita Lainnya

Index