Nasib Warga Pluit Setelah Relokasi, Warga Rusun Marunda Lempar Masalah ke Jokowi

Nasib Warga Pluit Setelah Relokasi, Warga Rusun Marunda Lempar Masalah ke Jokowi
Fotografer - Agung Pambudhy . ( detik.com )


JAKARTA - Warga bantaran Waduk Pluit yang sudah direlokasi ke rumah susun sewa sederhana (Rusunawa) Marunda menganggap surat perjanjian menghuni rusun bak buah simalakama. Warga kini mengklaim terpaksa menandatangani surat tersebut karena pada saat itu terdesak kebutuhan akan tempat tinggal.

“(Surat) ini ibarat buah simalakama, gak ditandatangani gak bisa di sini (rusun Marunda), ditandatangani begini kalimatnya, saya memaksakan diri (menandatangani), “ kata Jhony Erly, seorang warga yang direlokasi ke rusun Marunda kepada detikcom di rumah sewanya, kemarin.

Menurut Jhony, pasal–pasal yang tertera pada surat perjanjian tersebut sama sekali tidak berpihak kepada warga relokasi dan tidak mencerminkan peraturan yang merupakan program buat orang miskin yang terkena banjir.

“Ini namanya aja program orang miskin, (tapi) ini tidak berpihak pada orang miskin peraturan ini,” ujar pria penghuni Blok 7 ini.

Dia mencontohkan, seperti pada pasal 1 tentang jangka waktu. Pada pasal 1 ayat 1 tertulis bahwa jangka waktu perjanjian ini adalah terhitung sejak ditandatanganinya sampai dengan bulan Mei 2015 dan dapat diperpanjang sesuai kesepatan para pihak (warga dan pengelola) paling banyak 3 kali.

Dalam ayat 2 disebutkan perjanjian dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama dengan mengajukan permohonan. “Iya kalau dia sepakat, kalau dinaikkan (harga sewa) di dua tahun ke depan, saya gak terima, saya kalah dong. Tapi ini kalau jangka tertentu menjadi hak milik, itu warga bersemangat, apapun dilakukan,” Ujarnya

Sementara itu, pada pasal 10 ayat 4 dijelaskan jika warga tidak melaksanakan pembayaran uang retribusi (uang sewa), tagihan rekening air bersih dan listrik selama 3 bulan berturut–turut dan tidak mentaati, melaksanakan tata tertib penghunian rumah susun, maka pengelola akan mengosongkan unit rumah susun secara paksa dengan terlebih dahulu diberi surat peringatan (SP) hingga SP III dengan selisih waktu selama tujuh hari pada setiap SP.
“Hidup ini kan gak tentu, namanya kami gak puya pekerjaaan tetap. Gak lebih gak kurang, sama kayak kredit mobil dan motor aja, sama aja. Seenak perutnya aja pengelola ini, semau-mau dia,” katanya.

Untuk itu, Jhony berharap Pemerintah Provinsi DKI Jakarta segera mengkaji ulang mengenai isi peraturan pada surat perjanjian tersebut. Sebab dalam pandangannya, mustahil Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) tidak mengetahui isi surat perjanjian yang tidak berpihak pada warga relokasi.

“(Jokowi) Ya pasti tahu dong, kalau gak tahu, ini saya kasih tahu kalimatnya, dia pasti tahu, dia kan pemimpin, peraturannya kok gak sama dengan yang diceritakan Jokowi-Ahok. Ceritanya kan buat orang miskin, berjangka, jangkanya terus sampai kami-kami mati atau suatu saat kami kenapa-kenapa,” beber Jhony.

Hal senada juga diungkapkan oleh warga relokasi lainnya. Menurutnya, dengan peraturan–peraturan yang tertera pada surat perjanjian tersebut, maka mereka hanya bisa menempati rusunawa tersebut selama delapan tahun dengan catatan tidak menunggak pembayaran selama tiga bulan.

Namun, kondisi ekonomi yang masih sangat sulit membuat penghuni terancam akan dikeluarkan secara paksa dari rusun Marunda. “Untuk makan aja masih susah, apalagi bayar tagihan. Ya pasrah aja,” ucap warga yang tidak mau disebut namanya ini.( detik.com )



Berita Lainnya

Index