Rumah Godang Kenegerian Sentajo, Keharmonisan yang tak Lekang Waktu

Rumah Godang Kenegerian Sentajo, Keharmonisan yang tak Lekang Waktu
sebagian rumah godang di kenegerian sentajo di koto sentajo. ( cekau.com/ktc )

 

Rumah Godang Adat Suku Sentajo sebuah keharmonisan antar suku terjalin semenjak dulu. Hal ini dibuktikan adanya 24 unit rumah godang suku Sentajo di Kenegerian Sentajo, di Kecamatan Kuantan Tengah, Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing), Riau, masih terpelihara hingga kini. Ini  sebagai bentuk pengembangan keyakinan terhadap adat budaya, sehingga hal ini terpatri sejak turun temurun. Sebuah keharmonisan yang tak lekang waktu.

Keharmonisan dalam bentuk rumah adat suku Sentajo atau disebut rumah godang suku sentajo, yang masih tetap berjalan hingga kini, merupakan jaringan kehidupan sosial kemasyarakatan di Kabupaten Kuansing, khususnya di Kenegerian Sentajo. Kerukunan yang tercipta ini terjadi karena mampu mengurangi perbedaan yang mencolok antara nilai-nilai dalam masyarakat dengan realita yang ada.


Adanya hubungan baik ini tentunya tak lepas dari sebuah lembaga yang memiliki kewenangan khusus, seperti tokoh masyarakat, pemerintah, organisasi sosial, musyawarah masyarakat, dan lain sebagainya. Inilah alasan mengapa di Kenegerian Sentajo masih bertahan. Baca: 2,5 Abad Rumah Adat Godang Suku Sentajo di Kuansing.



Setidaknya, hal ini diuraikan Zulkarnain Umar, MSi, pemerhati sosial kemasyarakatan. Apalagi hal ini didukung dengan bentuk keharmonisan yang terjadi di Kenegerian Sentajo Kecamatan Kuantan Tengah, Kabupaten Kuantan Singingi (Kuansing) atas kerukunan adat yang mampu mempertahankan rumah godang adat suku sentajo.


Rumah Godang Adat Suku Sentajo Terpelihara hingga Kini

"Rumah godang adat suku sentajo ini terpelihara adanya sistem kepercayaan. Bagaimana masyarakat mengembangkan dan membangun sistem ini atau keyakinan terhadap adat budaya setempat, sehingga hal ini akan mempengaruhi sistem penilaian yang ada dalam masyarakat terpelihara hingga saat ini, secara turun temurun," jelas Zulkarnain, yang juga pengajar di Universitas Riau (UR).


Zulkarnain juga mengatakan bahwa sistem keyakinan ini akan mempengaruhi dalam kebiasaan, bagaimana memandang hidup dan kehidupan, cara mereka berkonsumsi, sampai dengan cara bagaimana berkomunikasi. Rumah adat suku Sentajo inilah sebagai tempat atau wadah pertemuan para ninik mamak (tetua adat) dan warga untuk mencapai sebuah kesepakatan atau sebagai tempat untuk urung rembuk membahas sebuah persoalan.


Begitu pula soal estetika. Rumah adat suku Sentajo ini juga berhubungan dengan seni dan kesenian, musik, cerita, dongeng, hikayat, drama dan tari-tarian, berlaku dan berkembang dalam masyarakat yang terus terpelihara. Seperti rumah adat suku Sentajo di Kuansing ini. Setiap masyarakat memiliki nilai estetika untuk mengembangkan rumah adat sebagai pelestarian leluhur yang ada semenjak dulu.


"Nilai estetika ini perlu dipahami dalam segala peran, agar pesan yang disampaikan dapat mencapai tujuan dan efektif. Apalagi rumah adat suku Sentajo ini sebagai awal terbentuknya kerukunan yang terpelihara hingga kini. Sekarang bagaimana, generasi sekarang, terutama para keturunan ninik mamak untuk memanfaatkan kearifan lokal ini sebagai seuatu yang bermanfaat hingga ke anak cucu," ucap anak Jati Kuansing ini, yang melanjutkan S3 di IPB.


Rumah Adat Suku Sentajodi Kuansing

Inilah bukti bahwa sampai saat ini, kata Zul, bahwa suku yang ada di Kenegerian Sentajo di Kecamatan Kuantan Tengah Kabupaten Kuantan Singingi, masih memegang teguh dan melestarikan adat budaya dan tradisi setempat. Salah satu buktinya, keberadaan rumah godang (rumah adat) masing-masing suku masih terlihat di kenegerian ini.


Zul juga menerangkan, bahwa meski sosial budaya mengalami perubahan, namun sebuah gejala berubahnya struktur sosial dan pola budaya dalam suatu masyarakat, memang sudah terjadi semenjak silam. Bahkan, perubahan sosial budaya ini tentunya gejala umum yang terjadi sepanjang masa dalam setiap masyarakat. "Perubahan itu terjadi sesuai dengan hakikat dan sifat dasar manusia yang selalu ingin mengadakan perubahan. Hirschman mengatakan bahwa kebosanan manusia sebenarnya merupakan penyebab dari perubahan itu," katanya.


Ada tiga faktor yang dapat memengaruhi perubahan sosial, tambahnya, pertama adanya tekanan kerja dalam masyarakat, keefektifan komunikasi, dan terakhir perubahan lingkungan alam. Untuk itu, kata Zul, perubahan budaya juga dapat timbul akibat munculnya perubahan lingkungan masyarakat, penemuan baru, dan kontak dengan kebudayaan lain. Sebagai contoh, berakhirnya zaman es berujung pada ditemukannya sistem pertanian, dan kemudian memancing inovasi-inovasi baru lainnya dalam kebudayaan.



Perubahan dalam kebudayaan mencakup semua bagian, yang meliputi kesenian, ilmu pengetahuan, teknologi, filsafat dan lainnya. Akan tetapi perubahan tersebut tidak mempengaruhi  organisasi sosial masyarakatnya. "Soekanto, 1990 menyebut ruang lingkup perubahan kebudayaan lebih luas dibandingkan perubahan sosial. Namun demikian dalam prakteknya di lapangan kedua jenis perubahan perubahan tersebut sangat sulit untuk dipisahkan," tutupnya.

Berbagai ornamen rumah godang masih asli dengan ciri khas masa lalu. Bentuk bangunan pun dikemas unik gaya panggung dengan tiang sebagai penyangga. Sebagian rumah godang masih dihuni pewaris atas strata adat masing-masing suku. Bahkan lokasinya terletak di dataran tinggi di kelilingi sawah dan tasik di Desa Koto Sentajo.



Rumah godang ini terletak sekitar 7 kilometer dari Ibukota Kabupaten Kuantan Singingi Teluk Kuantan. Sesampai di kawasan ini, akan dapat melihat 24 buah rumah unik. Sejak berdiri sampai saat ini masih terawat oleh Pemkab Kuantan Singingi dan dijadikan sebagai salah satu cagar budaya dan menjadi desa binaan wisata.

 

Koto (kota) di Kenegerian Sentajo, pada masa lalu sebagi pusat diantara desa-desa di masing-masing kenegerian atau desa tertua. Artinya, berbagai aktivitas, baik pemerintahan, keagamaan, budaya, perekonomian berpadu di kenegerian ini. ( cekau.com/ktc )

Berita Lainnya

Index