Akhir Karir Gubri Annas Maamun di Hutan Kuansing

Akhir Karir Gubri Annas Maamun di Hutan Kuansing
Aktivitas di areal perkebunan milik Gulat Manurung yang berada di kawasan HPT PT Hutani Sola Lestari

TELUK KUANTAN- Baru sekitar tujuh bulan menduduki kursi Riau satu, Gubernur Riau Annas Maamun harus mengakhiri karirnya setelah tersandung kasus alih fungsi hutan di Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau.  

Kasus yang menjerat politisi gaek yang juga mantan Bupati Rokan Hilir ini bermula dari carut marut aksi okupasi (pencaplokan) lahan oleh oknum warga di Kuansing dengan cukong di kawasan Hutan Produksi Terbatas (HPT) yang sudah diperoleh izin Hak Pengusahaan Hutan (HPH) kepada PT Hutani Sola Lestari, saat perusahaan ini berhenti beroperasi, sekitar tahun 2002 lalu, di Desa Giri Sako, Kecamatan Logas Tanah Darat.

Kawasan ini ternyata cukup jauh, jika ditempuh dengan kenderaan roda dua dari Teluk Kuantan hingga ke lokasi dengan waktu lebih kurang tiga jam. Sebelum sampai ke lokasi, harus melewati kawasan ekstrem dengan tanjakan yang curam. Kawasan ini juga berada di perbatasan Kuantan Singingi, Kabupaten Pelalawan dan Gunung Sahilan Kabupaten Kampar.

Dari penulusuran, izin hak pengusahaan hutan (HPH) oleh PT Hutani Sola Lestari terbit pada tahun 1999 seluas lebih kurang 50 ribu hektar yang berada di dua kabupaten, masing-masing Kuantan Singingi dan Kabupaten Pelalawan. Untuk Kabupaten Kuansing sendiri, luas HPH mereka sekitar 20 ribu hektar yang terletak di kawasan Desa Giri Sako Kecamatan Logas Tanah Darat. Izin HPH yang mereka kantongi berlaku hingga 50 tahun kedepan yang berarti akan berakhir pada tahun 2049.

Namun pada tahun 2002 sampai dengan 2003, perusahaan ini tidak lagi beroperasi penuh. Dari informasi yang diperoleh, hal ini disebabkan benturan dengan berbagai kelompok masyarakat yang mulai masuk untuk menguasai kayu dan lahan. Disamping itu, akibat pembalakan liar sebelum mereka mendapat izin, ternyata potensi kayu di areal HPH yang mereka miliki tidak sesuai dengan biaya produksi yang dikeluarkan.

Sejak perusahaan ini tidak lagi aktif beroperasi, oknum warga mulai makin berani masuk ke kawasan HPH mereka. Ya, tujuan utama mereka adalah untuk mencari kayu yang dapat dijual sekaligus melakukan pengambilan lahan untuk berbagai kepentingan, seperti diperjualbelikan dan dijadikan areal kebun kelapa sawit pribadi milik mereka. Lahan kemudian dijual mereka kepada cukong dan pemodal lainnya, sehingga saat ini areal HPH tersebut sudah berubah menjadi kawasan kelapa sawit.

Namun karena status HPH PT Hutani Sola Lestari merupakan kawasan hutan produksi terbatas (HPT), kelapa sawit yang ditanam para cukong dan pemodal tidak memiliki keabsahan secara hukum. Dan mereka kemudian memanfaatkan momentum perubahan RTRW Riau sebagai pintu masuk mengubah kawasan HPT tersebut menjadi areal peruntukkan lain hingga akhirnya menjerat Gubernur Riau.

Informasi ini diakui salahseorang saksi hidup yang menyaksikan punahya HPH jauh sebelum para cukong dan pemodal menguasai lahan ini sampai sekarang, Surdianto (35), warga Desa Pulau Rengas Kecamatan Pangean. Sebab dirinya sudah masuk ke kawasan itu sejak tahun 2000 awal perusahaan beroperasi.

Menurut Surdianto mengisahkan, sejak PT Hutani Sola Lestari tidak aktif lagi, sekelompok masyarakat dari Kecamatan Pangean dan Logas Tanah Darat mulai masuk dan melakukan penebangan liar. Usai menebang sisa kayu HPH, lahan yang sudah terbuka kemudian dijual ke cukong dan pemodal sekitar tahun 2002, termasuk kepada Gulat Manurung dan yang lainnya.

Saat cukong dan pemodal telah memiliki lahan ini, pemilik HPH kemudian menggugat hal ini secara hukum karena areal itu secara hukum berada dibawah pengelolaan mereka. Mendapat gugatan perusahaan, para cukong dan pemodal kemudian balik mempertanyakan kepada oknum warga sebagai tempat mereka membeli lahan sebelumnya.

Menanggapi keberatan para pemodal, oknum warga yang sebelumnya menjual lahan mensiasati kemelut ini dengan mendirikan koperasi. Koperasi yang terbentuk tersebut berupaya merangkul warga agar menjadi anggota, namun tidak banyak warga yang tertarik karena masyarakat sudah mengerti kemelut lahan di areal HPH ini.

Setelah koperasi ini terbentuk, PT Hutani Sola Lestari tidak bisa berbuat banyak hingga sekarang, karena mereka merasa dibenturkan dengan masyarakat saat mereka berusaha merebut kembali lahan HPH mereka yang telah diperjuabelikan ke pemodal.

"Itu kronologis kenapa HPH bisa digarap hingga sekarang. Selama masyarakat dikedepankan, pemilik HPH sepertinya tidak mempersoalkan," kata Surdianto yang merupakan salah seorang warga yang pernah diajak menggarap HPH ini oleh Koperasi Soko Jati, Jumat (26/9) akhir pekan lalu.

Para investor ini, sebut Surdianto, seperti Gulat telah bekerjasama dengan Soko Jati sejak awal. Dirinya memperkirakan, Gulat memiliki lahan perkebunan ratusan hektar. "Namun yang dilaporkan, kami kira itu yang seluas 120 hektar," katanya.

Kini, kata Surdianto, ribuan HPH Hutani Sola Lestari ini dikelolah Soko Jati dengan menggandeng investor, seperti Gulat, Amansyah cs, dan Linda serta investor luar lainnya. "Tameng yang digunakan untuk mengamankan kebun investor ini adalah masyarakat, sementara masyarakat tidak ada yang dapat," katanya kecewa.

Ketua Koperasi Perkebunan Soko Jati, Syarkawi yang ditanya wartawan soal ini, Minggu (28/9/2014) lalu, mengakui lahan anggota yang mereka bina berada diareal HPH Hutani Sola Lestari. Namun ujarnya areal HPH perusahaan itu merupakan tanah ulayat masyarakat Pangean jauh sebelum izin HPH dikeluarkan yang menjadi dasar bagi mereka untuk menguasai lahan itu.

Mengenai lahan Gulat sendiri, ujarnya, setahu dirinya tidak berasal dari anggota koperasi, sebab Gulat membeli lahan dari warga Logas Tanah Darat. Saat Gulat memiliki lahan itu, lantas digugat oleh PT Hutani Sola Lestari. Oleh karena mendapat gugatan perusahaan, Gulat kemudian meminta bergabung dengan koperasi. Karena itu sebut Syarkawi, Gulat sendiri tidak memberi kontribusi kepada koperasi seperti iuran pokok dan iuran wajib. “Karena (Gulat) meminta bergabung secara baik-baik tentu Kita terima,” ujarnya mengisahkan.

Sepengetahuan dirinya, lahan perkebunan milik Gulat seluas 120 hektar sekarang sudah memasuki usia produksi, 7 tahun. "Lahan Gulat itu luasnya sekitar 120 hektar, yang mengelolahnya adalah Swakarsa Mandiri," kata Syarkawi.

Sementara itu, Kepala Dinas Perkebunan Kuansing, H Wariman DW SP ketika dikonfirmasi terkait keberadaan kebun kelapa sawit para cukong dikawasan ini enggan mengomentari, karena lahan tersebut merupakan lahan HPH bukan kawasan perkebunan sesuai RTRW.

Begitu juga mengenai proses izin setahu dirinya tidak satupun dokumen terkait hal itu di Dinas Perkebunan Kuansing. “ Tidak ada dokumen-dokumen kebun dari kawasan itu di kantor, karena itu memang HPT,”ujarnya.

Dari hasil peninjauan terakhir ke lapangan, pasca kasus penangkapan Anas Maamun bersama Gulat oleh KPK, ternyata aktifitas pekerbunan di lahan yang diduga milik Gulat masih berlangsung, baik proses pemeliharaan dan pemanenan.

Namun sejak dua bulan terakhir menurut pengakuan salah seorang tukang panen didampingi Asisten Manajer, Saragih sejak dua bulan lalu belum menerima gaji. Diketahui, pekerjanya sekitar 30 orang.

Saat mereka mengetahui lahan ini sedang menjadi salah satu pemicu kasus Anas Maamun keduanya tidak lagi mau banyak memberikan informasi. "Ndak tahu kami, kami sudah dua bulan tak gajian," kata salahseorang pekerjanya mengakhiri, yang akhirnya enggan berkomentar banyak setelah mendapat kabar bosnya ditangkap KPK. (Utr)

Berita Lainnya

Index